Thursday, 17 November 2016

Pahlawan Nasional dari Pesantren



" Dan kita yakin saudara-saudara
pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita
sebab Allah selalu berada di pihak yang benar
percayalah saudara-saudara
Tuhan akan melindungi kita sekalian
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Merdeka!!!"

Penggalan pidato berapi-api dari Bung Tomo menyulut semangat gerakan perlawanan 10 November 1945 di Surabaya, Jawa Timur. Tak hanya Bung Tomo, tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama dan kiai-kiai pesantren punya andil besar dalam pergerakan ini.
Kiai Haji Hasyi Asy'ari misalnya. Tokoh pendiri Nahdlatul Ulama ini berperan penting dalam keluarnya resolusi jihad yang kemudian mendorong pertempuran hebat 10 November 1945 di Surabaya.
Sekitar dua minggu sebelum pertempuran 10 November 1945 terjadi, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan Resolusi Jihad Fii Sabilillah pada 22 Oktober 1945.
" Resolusi jihad ini diambil karena banyaknya bentrok fisik yang terjadi di Surabaya maupun Indonesia," terang Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Surabaya (UNESA), RN Bayu Aji saat berbincang dengan Dream.co.id.
Resolusi Jihad Fii Sabilillah PBNU di Surabaya mempunyai peranan penting membakar semangat arek-arek Suroboyo dalam pertempuran 10 November 1945.
" Tidak peduli warga NU ataupun masyarakat Islam yang lainnya. Warga NU, khususnya pemuda dan santri pondok juga telah bergabung dengan tentara Hizbullah untuk dilatih sebagai pasukan perang kala itu," ungkap Bayu.
Sebab itu, kata Bayu, Resolusi Jihad Fii Sabilillah PBNU ini layak untuk mendapatkan perhatian dalam historiografi Indonesia. Khususnya pada rentetan peristiwa 10 November, yang akhirnya mengantarkan Surabaya menjadi wilayah yang identik dengan Kota Pahlawan.
***
Tokoh NU lain yang bergelar pahlawan nasional yakni KH Idham Chalid. Idham merupakan sosok yang sulit dilepaskan dari dunia pesantren. Meski sempat mencecap ilmu di Sekolah Rakyat (SR), Idham memilih melanjutkan pendidikan di Madrasah Ar Rasyidiyyah.
Pria kelahiran Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921, ini kemudian melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Lulus dari Gontor pada 1943, Idham menempuh pendidikan di Jakarta.
Saat Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan menjadi partai politik dan lepas dari Masyumi, Idham memilih bergabung dengan Partai NU dan memulai karir melalui jalur GP Anshor.
Kariernya di NU cukup cemerlang. Idham pernah mengampu sejumlah jabatan di partai itu, yang kemudian mengantarkannya menjadi Wakil Perdana Menteri Kabinet Ali Sastroadjojo jilid II, meski hanya berjalan selama satu tahun.
Idham juga memimpin Partai NU hingga mendulang sukses pada Pemilu 1971. Rezim Soeharto kemudian membuat penyederhanaan partai politik menjadi tiga yaitu Golkar, PDI, dan PPP. NU tergabung dalam PPP dan Idham kembali terpilih sebagai Ketua Umum.
Usai pemilu itu, Idham ditunjuk menjadi Ketua MPR/DPR hingga tahun 1977. Dia lalu dipercaya kembali menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) hingga 1983.
Bertahun-tahun, KH Idham Chalid menghabiskan masa hidupnya hanya untuk berjuang dan mengabdi pada negara. Hingga akhirnya pada tahun 1962 terjadi peristiwa Idul Adhaberdarah yang menghentikan perjuangannya untuk selama-lamanya.
Pada tahun tersebut, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Bertepatan dengan perayaan Idul Adha 14 Mei. Kala itu, Idham selaku Ketua PBNU didaulat menjadi imam sholat Ied di Masjid Baiturrahim, Komplek Istana Kepresidenan.
Sholat Ied itu dimulai sekitar pukul 07.50 WIB. Presiden Soekarno bersama Wakil Menteri Pertahanan dan Keamanan Abdul Haris Nasution, KH Zainul Arifin, dan KH Saifuddin Zuhri berdiri di saf terdepan. Sholat berjalan dengan khusyuk hingga rakaat kedua. Insiden terjadi saat jamaah menjalankan rukun i'tidal, berdiri tegak usai rukuk.
Terdengar teriakan takbir bersusul letupan senjata muncul dari shaf ketiga. Peluru dari senjata ditujukan kepada Presiden Soekarno, namun berhasil digagalkan Paspampres.
Soekarno berhasil selamat. Tetapi, ada lima korban terkena peluru. Salah satunya adalah Idham Chalid. Minggu pagi 11 Juli 2010, mantan Ketua PBNU yang juga mantan Ketua MPR/DPR itu meninggal di usia 88 tahun. Idham Chalid meninggal dunia di kediamannya di kawasan pendidikan Darrul Maarif, Cipete, Jakarta Selatan, karena sakit yang diderita selama 10 tahun terakhir.
Gelar Pahlawan Nasional disematkan kepada KH Idham Chalid bersama enam tokoh lainnya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011. Idham Chalid menjadi putra Banjar ketiga yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional setelah Hasan Basry dan Pangeran Antasari.
Dan KH Idham Chalid menjadi salah satu dari 12 pahlawan nasional yang akan tampil di gambar muka uang kertas dan uang logam rupiah desain baru. Keputusan itu ditentukan secara resmi oleh Presiden Joko Widodo.
" Ada pertimbangan tertentu," kata Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia (BI), Suhaedi, di kompleks BI, Jakarta, Kamis 15 September 2016.
***
Tak hanya di masa berlangsungnya peristiwa 10 November. Tokoh-tokoh pesantren pada masa itu juga menjadi urat nadi gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia lainnya.
Salah satunya, Ki Bagus Hadikusumo. Perannya terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia begitu dalam.
Sekolahnya tidak lebih dari sekolah rakyat (sekarang SD) ditambah mengaji dan besar di pesantren. Namun, berkat kerajinan dan ketekunan mempelajari kitab-kitab terkenal akhirnya ia menjadi mubaligh dan pemimpin umat.
Ki Bagus Hadikusumo merupakan pemimpin Muhammadiyah yang besar andilnya dalam penyusunan Muqadimah UUD 1945, karena ia termasuk anggota Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI).
Peran Ki Bagus sangat besar dalam perumusan Muqadimah UUD 1945 dengan memberikan landasan ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Pokok-pokok pikirannya dengan memberikan landasan-landasan itu disetujui oleh semua anggota PPKI.
Tak cuma itu, Ki Bagus dikenal sebagai tokoh yang berani dan tegas menentang penjajah. Tatkala pimpinan tentara Dai Nippon yang terkenal kejam memerintahkan umat Islam dan warga Muhammadiyah melakukan upacara kebaktian tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari, dengan tegas Ki Bagus menentang dan membela rakyat.
Atas segala jasa dan pengabdiannya terhadap negeri ini, pada Selasa 10 November 2015 tahun lalu, Presiden Joko Widodo pun menganugerahkan gelar pahlawan nasional pada Ki Bagus Hadikusumo.
Ki Bagus dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kuncen, Kecamatan Wirobrajan, Kota Yogyakarta. Tapi tidak ada satupun tanda di ata smakam. Tidak ada patok nama apalagi batu nisan. Hanya ditandai sebongkah batu, yang kini sudah tak jelas letaknya.
***
Di Hari Pahlawan tahun 206 ini, Presiden Jokowi melalui Keputusan Presiden RI Nomor 90/TK/Tahun 2016 tanggal 3 November menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada salah satu tokoh dari pesantren. KHR As'ad Syamsul Arifin. Ulama berdarah Madura yang lahir di Mekah ini berperan besar terhadap perjuangan berdirinya Republik Indonesia.
KHR As'ad kecil merupakan santri di Banyuanyar di bawah asuhan Kiai Abdul Majid dan KH Abdul Hamid. Saat usia 16 tahun, As`ad dikirim ayanya belajar ke Mekah, Arab Saudi.
Pada 1924, As'ad kembali ke Tanah Air. Meski lama belajar di Mekah, As'ad masih saja merasa ilmu yang dia kuasai masih sangat kurang. Dia memutuskan untuk menimba ilmu di sejumlah pesantren di Tanah Air.
Tetapi, kepribadian As'ad terbentuk saat berada di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur. Di bawah asuhan KH Hasyim Asy'ari, As'ad tumbuh di lingkungan santri pejuang. Dia berteman baik dengan para tokoh perjuangan seperti KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Abbas Buntet, KH Wahid Hasyim, dan beberapa lainnya.
Dunia pesantren sudah mendarahdaging dengan perjuangan bangsa Indonesia merebut kemerdekaan. Semoga para pahlawan pesantren pendahulu kita khusnul khotimah di sana. Amin. (Ism)


sumber : www.dream.co.id


EmoticonEmoticon